Danu: Sumber Air dan Peradaban Bali

Oleh : I Putu Gede Suyoga, ST., M.Si.
(Arsitek dan Dosen Institut Desain dan Bisnis Bali, Denpasar)
Email: pgsuyoga@gmail.com
Danu, sebuah kata sederhana dalam bahasa Bali yang berarti danau. Kesederhanaan sebutan genangan air alamiah tersebut ternyata sarat dengan berbagai praktik pemaknaan sosio kultural masyarakat Bali. Danu telah menjadi sumber air kehidupan fisik dan spiritual manusia Bali. Kesahajaan namanya telah melahirkan sejumlah tonggak-tonggak kebudayaan dalam gubahan besar peradaban Bali sejak era purba.
Masih stabilnya debit air yang mengalir di lingkungan permukiman orang Bali menjadi indikasi berhasilnya praktik pelestarian sumber air besar yang ada di hulu, yakni di danau-danau yang ada di dataran tinggi pulau Bali. Gemericik air disepanjang alur pematang sawah menjadi bukti kearifan orang Bali yang masih terpelihara dengan bijak dalam sistem subak. Air tawar sebagai sumber kehidupan dan penghidupan yang paling penting telah dikonstruksi oleh para tetua Bali dengan sangat arif dalam inti kebudayaannya. Internalisasi rasa syukur terhadap anugerah terbesar dari Hyang Maha Kawi, Tuhan dalam wujud bentang alam bernama danu ‘danau’ tersebut, kemudian menempatkan danau sebagai sosok dewi yang maha penyayang, pemurah, pemberi kesejahteraan dan kemakmuran. Pemahaman eksistensi sekala-niskala dalam tataran real-ideal tersebut kemudian terkristalisasi dalam berbagai catatan naskah kuno.
Naskah Purana Bali misalnya telah mencatat konsep pemuliaan catur danu, yakni menghormati empat danau yang ada di Bali sebagai stana suci bagi sakti dewata, yakni Betari Catur Dewi. Danau Batur didedikasikan untuk Kahyangan Betari Uma, Danau Buyan menjadi Kahyangan Betari Gangga, Danau Beratan adalah Kahyangan Betari Laksmi, dan Danau Tamblingan sebagai Kahyangan Betari Sri. Maka, di setiap danau tersebut dibangunlah Pura Ulun Danu, simbolik bagian hulu atau bagian utama dari sebuah badan danau. Rembesan air yang kemudian mengalir dari keempat danau tersebut membentuk badan-badan sungai ke seluruh daratan Bali. Sungai dengan resapan air disepanjang alirannya, telah menyuburkan setiap lembah yang dilaluinya, menjaga terjaminnya sistem pengairan subak bagi seluruh bentang persawahan Bali, dan menjadi pemasok air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, serta sumber utama air suci ‘tirta’ untuk menyelesaikan berbagai ritual keagamaan masyarakat Bali.
Danau menjadi sumber utama pengairan pertanian sehingga sistem subak Bali bisa hidup sampai kini. Subak sebagai organisasi pembagian air irigasi sawah sudah tertulis dalam berbagai prasasti era Bali Kuno. Hal ini menjadi catatan penting sudah sedemikian mapannya peradaban air Bali melalui sistem subaknya. Subak meliputi aspek parhyangan, pawongan dan palemahan atau aspek keilahian, sosial, dan kewilayahan. Konten yang menunjukkan luasnya relasi harmoni, yakni mencakup dari rentang yang melingkupi territorial di hilir sampai ke hulu. Aspek parhyangan merentang dari altar pemujaan berbentuk Tugu Bedugul Carik di setiap lahan individual, Pura Ulun Siwi/Suwi atau Pura Subak/Bedugul di setiap satuan kelompok subak, sampai ke puncak di Pura Ulun Danu sebagai pura utama bagi semua subak di Bali. Aspek pawongan meliputi krama suka-duka subak sebagai relasi intern dan antar anggotanya, demikian juga aspek palemahan yang menyangkut besaran pembagian jatah air irigasi terkait batasan kewilayahan sampai upaya melestarikan danau. Relasinya menunjukkan dinamika yang sangat mengagumkan sebagai sebuah produk ideologi agraris.
Eksistensi danau telah menggugah tidak saja dalam pengertian fisikal di atas, namun juga telah melahirkan budaya air dalam tataran magis-religius. Aspek ini sebenarnya telah berkembang dengan baik sebagai tradisi dan kearifan lokal, kemudian dipermulia ke dalam ajaran Hindu. Getah peradaban air di Bali kemudian menyuburkan tumbuhkembangnya transplantasi ajaran Hindu tentang penghormatan dan pemuliaan air “amerta”. Pantheon dewa-dewi Hinduisme, seperti Dewi Gangga sebagai penguasa sungai, Dewa Wisnu penguasa air dan dewata lainnya, melengkapi khasanah kedewataan dalam masyarakat Bali. Tujuan hidup menurut Hindu pun pada prinsipnya sangat lekat dengan peradaban air, yakni untuk mencari amerta, kehidupan yang abadi, lepas dari kesengsaraan (suka tan pawali duka).
Semarak dan intennya ritual dalam siklus periodisasi waktu tertentu hampir semua berbasis air suci “tirta”. Hingga praktik beragama Hindu di Bali lebih populer disebut Agama Tirta. Alasannya sangat mendasar karena hampir semua ritus-ritus beragamanya memerlukan dan diselesaikan dengan air suci atau tirta tersebut. Ada sedemikian banyak sebutan tirta, misalnya sesuai sumber mendapatkannya, fungsinya, dan tujuannya, sehingga ada sebutan tirta pabresihan (penyucian lahir), panglukatan (penyucian bathin), pangentas (kematian), dan sebagainya. Baik terkait upacara siklus hidup manusia, upacara di tempat hunian, pura, maupun situs-situs lainnya.
Danau dengan Pura Ulun Danunya pun demikian, selalu dihidupkan dengan ritus-ritus periodik. Ada piodalan ‘upacara peringatan’ setiap enam bulan Bali (210 hari sekali). Ada upacara Danu Kertih dengan berbagai rentenan ritus-ritusnya, merupakan upaya sadar untuk menjaga kesucian danau yang secara umum berarti menjaga adat dan budaya Bali serta agama Hindu. Praktik ritual dengan berbagai bentuk upacara keagamaan tersebut merupakan “pesan” dari leluhur agar setiap generasi tidak hanya selesai ditataran praksis upacara semata. Namun, bergerak pada praksis lingkungan, yakni aksi nyata melestarikan ekosistem danau dengan berbagai keanekaragamanhayatinya, menjaga kebersihan air danau dari sumber pencemar, mencegah pendangkalan, dan potensi masalah danau lainnya. Dengan kata lain mengarusutamakan pengelolaan yang arif demi keberlanjutan sumber daya danau. Karena hilangnya daya dukung danau artinya hilangnnya peradaban Bali.
30 September 2021
(Arsitek dan Dosen Institut Desain dan Bisnis Bali, Denpasar)
Email: pgsuyoga@gmail.com
Danu, sebuah kata sederhana dalam bahasa Bali yang berarti danau. Kesederhanaan sebutan genangan air alamiah tersebut ternyata sarat dengan berbagai praktik pemaknaan sosio kultural masyarakat Bali. Danu telah menjadi sumber air kehidupan fisik dan spiritual manusia Bali. Kesahajaan namanya telah melahirkan sejumlah tonggak-tonggak kebudayaan dalam gubahan besar peradaban Bali sejak era purba.
Masih stabilnya debit air yang mengalir di lingkungan permukiman orang Bali menjadi indikasi berhasilnya praktik pelestarian sumber air besar yang ada di hulu, yakni di danau-danau yang ada di dataran tinggi pulau Bali. Gemericik air disepanjang alur pematang sawah menjadi bukti kearifan orang Bali yang masih terpelihara dengan bijak dalam sistem subak. Air tawar sebagai sumber kehidupan dan penghidupan yang paling penting telah dikonstruksi oleh para tetua Bali dengan sangat arif dalam inti kebudayaannya. Internalisasi rasa syukur terhadap anugerah terbesar dari Hyang Maha Kawi, Tuhan dalam wujud bentang alam bernama danu ‘danau’ tersebut, kemudian menempatkan danau sebagai sosok dewi yang maha penyayang, pemurah, pemberi kesejahteraan dan kemakmuran. Pemahaman eksistensi sekala-niskala dalam tataran real-ideal tersebut kemudian terkristalisasi dalam berbagai catatan naskah kuno.
Naskah Purana Bali misalnya telah mencatat konsep pemuliaan catur danu, yakni menghormati empat danau yang ada di Bali sebagai stana suci bagi sakti dewata, yakni Betari Catur Dewi. Danau Batur didedikasikan untuk Kahyangan Betari Uma, Danau Buyan menjadi Kahyangan Betari Gangga, Danau Beratan adalah Kahyangan Betari Laksmi, dan Danau Tamblingan sebagai Kahyangan Betari Sri. Maka, di setiap danau tersebut dibangunlah Pura Ulun Danu, simbolik bagian hulu atau bagian utama dari sebuah badan danau. Rembesan air yang kemudian mengalir dari keempat danau tersebut membentuk badan-badan sungai ke seluruh daratan Bali. Sungai dengan resapan air disepanjang alirannya, telah menyuburkan setiap lembah yang dilaluinya, menjaga terjaminnya sistem pengairan subak bagi seluruh bentang persawahan Bali, dan menjadi pemasok air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, serta sumber utama air suci ‘tirta’ untuk menyelesaikan berbagai ritual keagamaan masyarakat Bali.
Danau menjadi sumber utama pengairan pertanian sehingga sistem subak Bali bisa hidup sampai kini. Subak sebagai organisasi pembagian air irigasi sawah sudah tertulis dalam berbagai prasasti era Bali Kuno. Hal ini menjadi catatan penting sudah sedemikian mapannya peradaban air Bali melalui sistem subaknya. Subak meliputi aspek parhyangan, pawongan dan palemahan atau aspek keilahian, sosial, dan kewilayahan. Konten yang menunjukkan luasnya relasi harmoni, yakni mencakup dari rentang yang melingkupi territorial di hilir sampai ke hulu. Aspek parhyangan merentang dari altar pemujaan berbentuk Tugu Bedugul Carik di setiap lahan individual, Pura Ulun Siwi/Suwi atau Pura Subak/Bedugul di setiap satuan kelompok subak, sampai ke puncak di Pura Ulun Danu sebagai pura utama bagi semua subak di Bali. Aspek pawongan meliputi krama suka-duka subak sebagai relasi intern dan antar anggotanya, demikian juga aspek palemahan yang menyangkut besaran pembagian jatah air irigasi terkait batasan kewilayahan sampai upaya melestarikan danau. Relasinya menunjukkan dinamika yang sangat mengagumkan sebagai sebuah produk ideologi agraris.
Eksistensi danau telah menggugah tidak saja dalam pengertian fisikal di atas, namun juga telah melahirkan budaya air dalam tataran magis-religius. Aspek ini sebenarnya telah berkembang dengan baik sebagai tradisi dan kearifan lokal, kemudian dipermulia ke dalam ajaran Hindu. Getah peradaban air di Bali kemudian menyuburkan tumbuhkembangnya transplantasi ajaran Hindu tentang penghormatan dan pemuliaan air “amerta”. Pantheon dewa-dewi Hinduisme, seperti Dewi Gangga sebagai penguasa sungai, Dewa Wisnu penguasa air dan dewata lainnya, melengkapi khasanah kedewataan dalam masyarakat Bali. Tujuan hidup menurut Hindu pun pada prinsipnya sangat lekat dengan peradaban air, yakni untuk mencari amerta, kehidupan yang abadi, lepas dari kesengsaraan (suka tan pawali duka).
Semarak dan intennya ritual dalam siklus periodisasi waktu tertentu hampir semua berbasis air suci “tirta”. Hingga praktik beragama Hindu di Bali lebih populer disebut Agama Tirta. Alasannya sangat mendasar karena hampir semua ritus-ritus beragamanya memerlukan dan diselesaikan dengan air suci atau tirta tersebut. Ada sedemikian banyak sebutan tirta, misalnya sesuai sumber mendapatkannya, fungsinya, dan tujuannya, sehingga ada sebutan tirta pabresihan (penyucian lahir), panglukatan (penyucian bathin), pangentas (kematian), dan sebagainya. Baik terkait upacara siklus hidup manusia, upacara di tempat hunian, pura, maupun situs-situs lainnya.
Danau dengan Pura Ulun Danunya pun demikian, selalu dihidupkan dengan ritus-ritus periodik. Ada piodalan ‘upacara peringatan’ setiap enam bulan Bali (210 hari sekali). Ada upacara Danu Kertih dengan berbagai rentenan ritus-ritusnya, merupakan upaya sadar untuk menjaga kesucian danau yang secara umum berarti menjaga adat dan budaya Bali serta agama Hindu. Praktik ritual dengan berbagai bentuk upacara keagamaan tersebut merupakan “pesan” dari leluhur agar setiap generasi tidak hanya selesai ditataran praksis upacara semata. Namun, bergerak pada praksis lingkungan, yakni aksi nyata melestarikan ekosistem danau dengan berbagai keanekaragamanhayatinya, menjaga kebersihan air danau dari sumber pencemar, mencegah pendangkalan, dan potensi masalah danau lainnya. Dengan kata lain mengarusutamakan pengelolaan yang arif demi keberlanjutan sumber daya danau. Karena hilangnya daya dukung danau artinya hilangnnya peradaban Bali.
30 September 2021
|
|