Ngubeng: Kearifan Bali Beritual Di Kala Pandemi

Oleh : I Putu Gede Suyoga, ST., M.Si.
(Arsitek dan Dosen Institut Desain dan Bisnis Bali, Denpasar)
Istilah ngubeng kembali mengemuka di tengah riuhnya aktivitas ritual keagamaan di Bali. Salah satu kearifan lokal masyarakat Bali tersebut seolah “mengerem” sejenak laju kenyamanan habitus kolektif masyarakat Bali dalam berupacara, yang sempat mapan selama lebih dari setengah abad terakhir ini. Apa itu ngubeng? Sebuah kearifan lokal yang menarik dicermati kembali terkait praksis ritual kolektif dalam ruang-ruang sosio religius di kala pandemi ini.
Ngubeng kata dasarnya ubeng, artinya berkeliling di satu tempat, berkisar pada suatu tempat. Kata ubeng dalam bentuk kata kerja menjadi ngubeng, artinya memohon kehadiran aspek kedewataan dari tempat pemohon (Anandakusuma, 1986). Kata ngubeng juga disinonimkan dengan kata nyawang (kata dasarnya sawang). Bentuk kata kerjanya nyawang berarti bersembahyang dari jauh (Anandakusuma, 1986). Dengan demikian dalam konteks ini, ngubeng dimaksudkan untuk menyatakan aktivitas berupacara atau persembahyangan dari jauh (dari tempat tinggal) dengan arah orientasi pemujaan yang ditujukan ke sebuah Pura tertentu.
Kegiatan berupacara dengan cara ngubeng/nyawang merupakan salah satu kearifan masyarakat Bali kuno yang dilakukan saat situasi kegawatdaruratan, kebencanaan, baik yang disebabkan oleh fenomena alam, konflik sosial, maupun wabah hama-penyakit. Ngubeng dalam pengertian praksis sosial diperluas pengertiannya yakni merujuk ketidakmampuan kehadiran secara fisik pada suatu tempat untuk mengikuti aktivitas secara kolektif.
Kondisi wabah semesta saat ini, pendemi Corona Virus Disease (Covid-19), merupakan alasan yang sangat mendasar bagi pemerintah bekerjasama dengan lembaga keagamaan, dan lembaga adat, untuk mengeluarkan sejumlah keputusan bersama (Surat Keputusan Bersama/Surat Edaran Bersama), terkait teknis berupacara keagamaan dengan cara “ngubeng atau nyawang” untuk mengantisipasi terjadinya kerumunan, serta penanggulangan penyebaran virus corona dengan tetap terjaganya jarak fisik (physical distance) dan jarak sosial (social distance).
Ngubeng/nyawang sebagai kearifan lokal masyarakat Bali, jika dilihat dari perspektif proksemika atau semiotika ruangnya Hall (1996), bukan hanya berhasil meniadakan jarak intim (0-45cm), namun juga sekaligus menjauhkan jarak personal (45-120cm), berhasil membentuk jarak sosial (120-360cm) dan bahkan jarak publik (360-750cm). Bagi umat yang bersembahyang dengan cara ngubeng dari rumah (tempat suci keluarga), pada sudut pandang Proksemika sudah terbentuk suatu struktur ruang mikro inter personal di dalamnya. Secara tidak langsung, dalam praktiknya cara ngubeng bahkan sudah melampaui dari kategori jarak publiknya Hall.
Ngubeng atau nyawang dalam beritual di kala pandemi, dengan demikian merupakan bentuk adaptasi praktik kultural masyarakat Bali dalam menginternalisasi internasional isu atau aspek eksternal ke dalam ranah internal praksis sosio religius. Ngubeng atau nyawang menjadi pilihan logis dalam pemanfaatan ruang-ruang spiritual dan secara praksis juga berhasil men-de-habitus praktik kultural yang sudah mapan sebelumnya, yakni yang biasanya dilakukan secara komunal, kolektif kolegia yang dipastikan membentuk kerumunan massa. Khusus dalam pola persembahyangan, praksis ngubeng berhasil membentuk dan terjaganya jarak fisik dan jarak sosial pada kawasan suci serta kuil-kuil pemujaan sebagai ruang-ruang sosio-religius umat beragama.
27 Agustus 2021
(Arsitek dan Dosen Institut Desain dan Bisnis Bali, Denpasar)
Istilah ngubeng kembali mengemuka di tengah riuhnya aktivitas ritual keagamaan di Bali. Salah satu kearifan lokal masyarakat Bali tersebut seolah “mengerem” sejenak laju kenyamanan habitus kolektif masyarakat Bali dalam berupacara, yang sempat mapan selama lebih dari setengah abad terakhir ini. Apa itu ngubeng? Sebuah kearifan lokal yang menarik dicermati kembali terkait praksis ritual kolektif dalam ruang-ruang sosio religius di kala pandemi ini.
Ngubeng kata dasarnya ubeng, artinya berkeliling di satu tempat, berkisar pada suatu tempat. Kata ubeng dalam bentuk kata kerja menjadi ngubeng, artinya memohon kehadiran aspek kedewataan dari tempat pemohon (Anandakusuma, 1986). Kata ngubeng juga disinonimkan dengan kata nyawang (kata dasarnya sawang). Bentuk kata kerjanya nyawang berarti bersembahyang dari jauh (Anandakusuma, 1986). Dengan demikian dalam konteks ini, ngubeng dimaksudkan untuk menyatakan aktivitas berupacara atau persembahyangan dari jauh (dari tempat tinggal) dengan arah orientasi pemujaan yang ditujukan ke sebuah Pura tertentu.
Kegiatan berupacara dengan cara ngubeng/nyawang merupakan salah satu kearifan masyarakat Bali kuno yang dilakukan saat situasi kegawatdaruratan, kebencanaan, baik yang disebabkan oleh fenomena alam, konflik sosial, maupun wabah hama-penyakit. Ngubeng dalam pengertian praksis sosial diperluas pengertiannya yakni merujuk ketidakmampuan kehadiran secara fisik pada suatu tempat untuk mengikuti aktivitas secara kolektif.
Kondisi wabah semesta saat ini, pendemi Corona Virus Disease (Covid-19), merupakan alasan yang sangat mendasar bagi pemerintah bekerjasama dengan lembaga keagamaan, dan lembaga adat, untuk mengeluarkan sejumlah keputusan bersama (Surat Keputusan Bersama/Surat Edaran Bersama), terkait teknis berupacara keagamaan dengan cara “ngubeng atau nyawang” untuk mengantisipasi terjadinya kerumunan, serta penanggulangan penyebaran virus corona dengan tetap terjaganya jarak fisik (physical distance) dan jarak sosial (social distance).
Ngubeng/nyawang sebagai kearifan lokal masyarakat Bali, jika dilihat dari perspektif proksemika atau semiotika ruangnya Hall (1996), bukan hanya berhasil meniadakan jarak intim (0-45cm), namun juga sekaligus menjauhkan jarak personal (45-120cm), berhasil membentuk jarak sosial (120-360cm) dan bahkan jarak publik (360-750cm). Bagi umat yang bersembahyang dengan cara ngubeng dari rumah (tempat suci keluarga), pada sudut pandang Proksemika sudah terbentuk suatu struktur ruang mikro inter personal di dalamnya. Secara tidak langsung, dalam praktiknya cara ngubeng bahkan sudah melampaui dari kategori jarak publiknya Hall.
Ngubeng atau nyawang dalam beritual di kala pandemi, dengan demikian merupakan bentuk adaptasi praktik kultural masyarakat Bali dalam menginternalisasi internasional isu atau aspek eksternal ke dalam ranah internal praksis sosio religius. Ngubeng atau nyawang menjadi pilihan logis dalam pemanfaatan ruang-ruang spiritual dan secara praksis juga berhasil men-de-habitus praktik kultural yang sudah mapan sebelumnya, yakni yang biasanya dilakukan secara komunal, kolektif kolegia yang dipastikan membentuk kerumunan massa. Khusus dalam pola persembahyangan, praksis ngubeng berhasil membentuk dan terjaganya jarak fisik dan jarak sosial pada kawasan suci serta kuil-kuil pemujaan sebagai ruang-ruang sosio-religius umat beragama.
27 Agustus 2021
|
|