Gunung dan Arsitektur Pemujaan Masyarakat Bali
Oleh : I Putu Gede Suyoga, ST., M.Si.
(Arsitek dan Dosen Institut Desain dan Bisnis Bali, Denpasar)
Eksistensi gunung sebagai bagian dari habitus masyarakat Bali telah menginspirasi sedemikian banyak praktik kultural masyarakatnya. Hasil internalisasi kemahadahsyatan gunung dan juga sekaligus keberlimpahan anugerah berkah kesuburan serta kesejahteraan hidup yang bersumber dari gunung telah menyatu dalam berbagai artefak baik fisik maupun non fisik. Hasil kontemplasi para tetua masyarakat Bali telah mengkristal sebagai laku budaya Bali yang bernuansa sosio-religius, salah satu jejaknya dapat ditelusuri dari benda budaya, yakni karya arsitektur pemujaan.
Bermula dari kepercayaan roh suci leluhur yang bersemayam di puncak-puncak bukit, demikian pula para dewa penguasa aspek semesta yang berstana di puncak-puncak gunung, nenek moyang orang Bali telah meletakkan dasar kepercayaan akan kekuatan ilahiah yang memberi perlindungan kepada manusia yang hidup di dunia. Benda budaya berupa menhir-dolmen dan tahta batu dengan/atau tanpa sandaran tangan dan punggung menjadi bukti arkeologi. Karya arsitektur pemujaan awal tersebut beberapa masih ada dan menjadi bagian dari altar pemujaan yang berkembang pada era-era selanjutnya. Dasar kepercayaan lokal genius tersebut kemudian dipermulia oleh ajaran Hindu yang datang dari Jawa, dengan konsep dewa-dewa sebagai sinar-sinar suci manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam pantheon Hindu.
Gunung yang dipercaya sebagai tempat persemayaman dewata dan roh suci leluhur, kemudian ditransformasikan menjadi berbagai karya arsitektur altar pemujaan bernama palinggih. Dengan demikian, palinggih dipahami sebagai analogi gunung suci dalam mitologi Mahameru, alam hunian para dewa (dewa loka) dan hunian para roh suci leluhur (pitra loka) yang dibangun di alam hunian manusia di dunia ini (manusa loka).
Jenis dan bentuk palinggih pun kemudian berkembang sesuai dengan fungsi pemujaan dan dewata yang distanakan. Jenis palinggih-palinggih utama dalam sebuah arsitektur kuil Hindu diantaranya: tepas, tugu, gedong, prasada, meru, dan padma. Ada juga bangunan suci pelengkap yang juga terinspirasi dari gunung seperti candi bentar, gerbang terluar pura yang digubah dari gunung yang terbelah, dan kori agung/gelung kori, yakni gerbang menuju halaman dalam yang tersakral. Bentuknya terispirasi dari gunung dengan hutan belantara yang belum terjamah lengkap dengan sosok boma sang penjaga.
Bentuk arsitektural masing-masing palinggih utama dan pelengkap tersebut beraneka dari yang berbentuk persegi sederhana sampai berhias dengan ragam ornamental yang rumit. Ragam hias berpola meander, gubahan floratif, fauna, kedok muka, dan benda alam lainnya penuh latar mitis, mistik, dan makna religius. Altar pemujaan ada yang berdimensi kecil, sedang, atau besar dan terbuat dari batu alam, batu bata, dan kayu atau kombinasi di antara material bahan bangunan lokal lainnya.
Secara arsitektural palinggih tepas berbentuk persegiempat sederhana dengan ketinggian yang relatif rendah sesuai dengan analogi perbukitan/gunung dengan puncak tidak terlalu tinggi. Palinggih tugu keseluruhan berbahan batu alam atau batu bata, dilengkapi dengan lubang kecil tempat untuk menaruh persembahan. Selanjutnya palinggih gedong, ada yang berbahan batu alam dan ada yang berbahan papan kayu sebagai sebuah ruang persembahan. Gedong yang berukuran kecil, bagian atap akan langsung bertumpu pada kotak persegi tempat persembahannya, sedangkan gedong besar akan dilengkapi tiang-tiang penyangga penumpu bagian atapnya. Atap gedong pada umumnya satu, sedangkan yang bertumpang disebut meru.
Palinggih jenis meru berbentuk gedong kayu beratap bertumpang ganjil yang terinspirasi dari deretan puncak-puncak pegunungan yang menjulang tinggi. Fungsi meru dibedakan menjadi dua, pertama didedikasikan untuk stana dewata yang disebut dewa pratista, dan kedua untuk pemujaan kepada roh suci leluhur disebut atma pratista. Bentuk meru diperkirakan merupakan perkembangan dari bentuk palinggih prasada. Palinggih prasada berbentuk gedong beratap tumpang yang keseluruhannya berbahan batu alam atau bata merah, seperti halnya candi di Jawa.
Selanjutnya jenis palinggih padma yang diperkirakan berkembang pada era kerajaan Majapahit telah menguasai Bali. David J. Stuard Fox dalam bukunya Pura Besakih telah menemukan prototipenya di daerah Ampel Gading Jawa Timur. Palinggih Padma, bentuk arsitekturalnya tersusun dari batu alam atau batu bata dengan sebuah tahta (ruang terbuka) pada puncaknya. Varian bentuknya ada padma capah/padma andap, padmasari, padmasana, padmayoni, padmanglayang dan lainnya. Secara arsitektural pembedaan mendasar tergantung dari kelengkapan bagian-bagian pembentuk badannya (pepalihan), kelengkapan ragam hias, dan jumlah tahta sebagai tempat untuk menaruh persembahan.
Deskripsi di atas telah memberi gambaran singkat kuatnya relasi gunung dengan arsitektur pemujaan. Bukan hanya ditataran konsepsi namun juga bentukan arsitektural. Bahkan sejumlah pura kuno/pura besar dibangun sedekat mungkin dengan puncak gunung bahkan tepat di puncaknya jika lahan memungkinkan. Demikian kuatnya praktik kultural hasil kompromi dan adaptifnya masyarakat Bali akan eksistensi gunung dengan segala fenomenanya. Sejumlah altar pemujaan bernama palinggih menjadi tonggak-tonggak historis perkembangan sraddha-bhakti atau kepercayaan dan ketaatan masyarakat Bali akan makna keilahian. Artefak spiritual bernuansa mitis, mistik sampai religius yang berakar kuat dari kearifan lokal masyarakat Bali.
22 Agustus 2021
(Arsitek dan Dosen Institut Desain dan Bisnis Bali, Denpasar)
Eksistensi gunung sebagai bagian dari habitus masyarakat Bali telah menginspirasi sedemikian banyak praktik kultural masyarakatnya. Hasil internalisasi kemahadahsyatan gunung dan juga sekaligus keberlimpahan anugerah berkah kesuburan serta kesejahteraan hidup yang bersumber dari gunung telah menyatu dalam berbagai artefak baik fisik maupun non fisik. Hasil kontemplasi para tetua masyarakat Bali telah mengkristal sebagai laku budaya Bali yang bernuansa sosio-religius, salah satu jejaknya dapat ditelusuri dari benda budaya, yakni karya arsitektur pemujaan.
Bermula dari kepercayaan roh suci leluhur yang bersemayam di puncak-puncak bukit, demikian pula para dewa penguasa aspek semesta yang berstana di puncak-puncak gunung, nenek moyang orang Bali telah meletakkan dasar kepercayaan akan kekuatan ilahiah yang memberi perlindungan kepada manusia yang hidup di dunia. Benda budaya berupa menhir-dolmen dan tahta batu dengan/atau tanpa sandaran tangan dan punggung menjadi bukti arkeologi. Karya arsitektur pemujaan awal tersebut beberapa masih ada dan menjadi bagian dari altar pemujaan yang berkembang pada era-era selanjutnya. Dasar kepercayaan lokal genius tersebut kemudian dipermulia oleh ajaran Hindu yang datang dari Jawa, dengan konsep dewa-dewa sebagai sinar-sinar suci manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam pantheon Hindu.
Gunung yang dipercaya sebagai tempat persemayaman dewata dan roh suci leluhur, kemudian ditransformasikan menjadi berbagai karya arsitektur altar pemujaan bernama palinggih. Dengan demikian, palinggih dipahami sebagai analogi gunung suci dalam mitologi Mahameru, alam hunian para dewa (dewa loka) dan hunian para roh suci leluhur (pitra loka) yang dibangun di alam hunian manusia di dunia ini (manusa loka).
Jenis dan bentuk palinggih pun kemudian berkembang sesuai dengan fungsi pemujaan dan dewata yang distanakan. Jenis palinggih-palinggih utama dalam sebuah arsitektur kuil Hindu diantaranya: tepas, tugu, gedong, prasada, meru, dan padma. Ada juga bangunan suci pelengkap yang juga terinspirasi dari gunung seperti candi bentar, gerbang terluar pura yang digubah dari gunung yang terbelah, dan kori agung/gelung kori, yakni gerbang menuju halaman dalam yang tersakral. Bentuknya terispirasi dari gunung dengan hutan belantara yang belum terjamah lengkap dengan sosok boma sang penjaga.
Bentuk arsitektural masing-masing palinggih utama dan pelengkap tersebut beraneka dari yang berbentuk persegi sederhana sampai berhias dengan ragam ornamental yang rumit. Ragam hias berpola meander, gubahan floratif, fauna, kedok muka, dan benda alam lainnya penuh latar mitis, mistik, dan makna religius. Altar pemujaan ada yang berdimensi kecil, sedang, atau besar dan terbuat dari batu alam, batu bata, dan kayu atau kombinasi di antara material bahan bangunan lokal lainnya.
Secara arsitektural palinggih tepas berbentuk persegiempat sederhana dengan ketinggian yang relatif rendah sesuai dengan analogi perbukitan/gunung dengan puncak tidak terlalu tinggi. Palinggih tugu keseluruhan berbahan batu alam atau batu bata, dilengkapi dengan lubang kecil tempat untuk menaruh persembahan. Selanjutnya palinggih gedong, ada yang berbahan batu alam dan ada yang berbahan papan kayu sebagai sebuah ruang persembahan. Gedong yang berukuran kecil, bagian atap akan langsung bertumpu pada kotak persegi tempat persembahannya, sedangkan gedong besar akan dilengkapi tiang-tiang penyangga penumpu bagian atapnya. Atap gedong pada umumnya satu, sedangkan yang bertumpang disebut meru.
Palinggih jenis meru berbentuk gedong kayu beratap bertumpang ganjil yang terinspirasi dari deretan puncak-puncak pegunungan yang menjulang tinggi. Fungsi meru dibedakan menjadi dua, pertama didedikasikan untuk stana dewata yang disebut dewa pratista, dan kedua untuk pemujaan kepada roh suci leluhur disebut atma pratista. Bentuk meru diperkirakan merupakan perkembangan dari bentuk palinggih prasada. Palinggih prasada berbentuk gedong beratap tumpang yang keseluruhannya berbahan batu alam atau bata merah, seperti halnya candi di Jawa.
Selanjutnya jenis palinggih padma yang diperkirakan berkembang pada era kerajaan Majapahit telah menguasai Bali. David J. Stuard Fox dalam bukunya Pura Besakih telah menemukan prototipenya di daerah Ampel Gading Jawa Timur. Palinggih Padma, bentuk arsitekturalnya tersusun dari batu alam atau batu bata dengan sebuah tahta (ruang terbuka) pada puncaknya. Varian bentuknya ada padma capah/padma andap, padmasari, padmasana, padmayoni, padmanglayang dan lainnya. Secara arsitektural pembedaan mendasar tergantung dari kelengkapan bagian-bagian pembentuk badannya (pepalihan), kelengkapan ragam hias, dan jumlah tahta sebagai tempat untuk menaruh persembahan.
Deskripsi di atas telah memberi gambaran singkat kuatnya relasi gunung dengan arsitektur pemujaan. Bukan hanya ditataran konsepsi namun juga bentukan arsitektural. Bahkan sejumlah pura kuno/pura besar dibangun sedekat mungkin dengan puncak gunung bahkan tepat di puncaknya jika lahan memungkinkan. Demikian kuatnya praktik kultural hasil kompromi dan adaptifnya masyarakat Bali akan eksistensi gunung dengan segala fenomenanya. Sejumlah altar pemujaan bernama palinggih menjadi tonggak-tonggak historis perkembangan sraddha-bhakti atau kepercayaan dan ketaatan masyarakat Bali akan makna keilahian. Artefak spiritual bernuansa mitis, mistik sampai religius yang berakar kuat dari kearifan lokal masyarakat Bali.
22 Agustus 2021
|
|