Gunung dan Seruling

Di mata Masyarakat Sunda
Oleh : Ira Indrawardana, S.Sos., M.Si
(Antropolog UNPAD)
Alam Tatar Sunda memiliki ciri khas dengan memiliki banyak kawasan pegunungan dan sungai-sungai yang bersumber mata air mengalir dari puncak-puncak gunung tersebut. Dahulu, Gunung dan kawasan pegunungan itu begitu disakralkan oleh masyarakat Sunda bihari. Gunung itu dipercaya tempat bersemayam atau tinggal para leluhur agung dan para ruh dengan berbagai jenis dan tingkatan kemistikannya yang bersama manusia menjaga alam dan menjaga kabuyutan sebagai pusat spiritual dan eksistensi masyarakat dan kebudayaannya. Bukti-bukti arkeologi membuktikan hal itu, diantaranya bukti yang menunjukkan berbagai lokasi situs purbakala yang ditengarai sebagai tempat ritual dan tempat para leluhur Sunda awal berada dan berakhir disana. Adanya "batu satangtung atau menhir atau lingga yang biasanya bersamaan terdapat batu ngampar atau yoni" secara arkeologi atau paleoantropologi dimaknai sebagai bukti budaya spiritualitas yang sudah tertanam sejak sebelum pengaruh sistem kepercayaan yang datang dari bangsa luar Sunda. Budaya spiritualitas itu berkembang dan terimplementasikan dalam perilaku religius masyarakatnya. Perilaku religius masyarakat Sunda bihari itu lalu diinternalisasikan mulai dari keluarga hingga masyarakat dalam ruang lingkup luas, sehinnga menjadi suatu adat dan tradisi serta hukum adat atau pikukuh yang menjadi pedoman hidup masyarakat pada masa itu.
Religiusitas masyarakat leluhur Sunda di masa prasejarah dan awal sejarah terjaga dan dapat dilihat dari kelestarian alam yang terus asri dan harmoni antar makhluk (manusia, hewan, tumbuhan dan makhluk astral atau ruh-ruh suci dan non suci atau ruh baik dan jahat), dengan manusia atau MANUSA WASTU SIWONG atau Sejatinya manusia yang telah "selesai" memahami hakikat dan peran kehidupan dan keberadaan dirinya di buwana panca tengah ini sebagai "pamémérés atau penata" kehidupan sekaligus pengelola alam dan lingkungannya.
Tak heran, hingga "orang asing" memandang Tatar Sunda (termasuk di dalamnya terdapat sebutan alam Parahyang) mengibaratkan bahwa Tuhan menciptakan alam di wilayah ini ketika Tuhan sedang tersenyum. Keindahan, keasrian, kesejukan, kesuburan, kebersihan, kedamaian serta ketentraman alam dan masyarakat penghuninya terhubung dan saling terikat satu sama lain secara sistem ekokultural lokal secara ajeg. Hal ini bertahan hingga mulai masuknya pengaruh budaya para pendatang bangsa luar, yang kemudian berinteraksi secara akulturatif dan asimilatif melalui berbagai dinamika sosial dan politik kemasyarakat pada masa itu. Gunung-Gunung sebagai benteng pertahanan budaya dan kabuyutan Urang Sunda mulai "diranjah dan digadabah" atau dirusak oleh pengaruh pola pikir dan pemahaman duniawi atau spiritualitas yang tidak bersabat dan selaras dengan aura alam Tatar Sunda, yang bersebrangan dengan spiritualitas bangsa Sunda bihari waktu itu. Seiring waktu, keasrian pudar, kesuburan menggersang, kebersihan ternodai, keajegan adat dan tradisi terkoyak, para ruh jahat pun berlindung merasuki jiwa-jiwa orang yang kalap dengan syahwat duniawi dan kekuasaan. Ruh suci pun berkumpul di "semak-semak kabuyutan" tersembunyi sambil menjaga benteng pertahanan wilayah kesucian, dan ada yang menyelinap dalam jiwa-jiwa raga hamba sahaya yang "lantip pikirna dan rancagé haténa".
Saat senandung kidung buhun digetarkan dalam alunan dawai kecapi, tarawangsa, seruling dan tembang Sunda beruntai rasa batin yang rindu dan jujur akan jatidirinya, saat itulah alam pun tergerak menata diri, menyeimbangkan kembali dengan hukum alam dan adikudratinya. Senandung suara rasa yang kadang tidak bisa dicerna dengan akal dan perasaan yang jumud dan terpenjara oleh pembenaran yang membalikkan kasunyatan, adalah tak ubahnya "panggilan batin" yang mengkoneksikan genetika leluhur yang tersembunyi dan terdampar dalam relung palung batin yang sudah terkubur oleh egoisme kemunafikan dan penghianatan terhadap lemah cai dan spiritualitas batin agung leluhurnya. Karena memang demikianlah menurut "dawuh leluhur" dalam berbagai manuskrip kuna Sunda juga melalui tradisi lisan yang terjaga dalam memori kolektif para "penganut pikukuh leluhur Sunda", bahwa mereka para ruh suci, dangiang pewartaan tugas atau pancen amanat leluhur tidak sembarang terungkap dan terpendar, kecuali melalui kesadaran yang "ngadeg ku anjeun, dina tiap obahna jaman". Bersamaan dengan itu alam kembali menata diri dengan “usiknya” yang kadang tidak disadari hal itu sebagai “panggeuing” bagi para penghuni bumi yang telah “mendurhakainya”. Sehingga, bisa ditarik kesimpulan bahwa, alat-alat musik tradisional Sunda itu, salah satunya seruling Sunda atau suling Sunda, adalah salah satu "media sandi pusaka" yang tidak kalah penting dan "ahéng" dari sekedar simbol-simbol kesundaan yang suka dijadikan kebanggaan semu dan hanya menjadi arogansi identitas tanpa memahami dan mendalami dalam keterkaitan dengan "media pusaka lainnya" yang selama ini sekedar dianggap "alat hiburan semata".
14 Agustus 2021
Oleh : Ira Indrawardana, S.Sos., M.Si
(Antropolog UNPAD)
Alam Tatar Sunda memiliki ciri khas dengan memiliki banyak kawasan pegunungan dan sungai-sungai yang bersumber mata air mengalir dari puncak-puncak gunung tersebut. Dahulu, Gunung dan kawasan pegunungan itu begitu disakralkan oleh masyarakat Sunda bihari. Gunung itu dipercaya tempat bersemayam atau tinggal para leluhur agung dan para ruh dengan berbagai jenis dan tingkatan kemistikannya yang bersama manusia menjaga alam dan menjaga kabuyutan sebagai pusat spiritual dan eksistensi masyarakat dan kebudayaannya. Bukti-bukti arkeologi membuktikan hal itu, diantaranya bukti yang menunjukkan berbagai lokasi situs purbakala yang ditengarai sebagai tempat ritual dan tempat para leluhur Sunda awal berada dan berakhir disana. Adanya "batu satangtung atau menhir atau lingga yang biasanya bersamaan terdapat batu ngampar atau yoni" secara arkeologi atau paleoantropologi dimaknai sebagai bukti budaya spiritualitas yang sudah tertanam sejak sebelum pengaruh sistem kepercayaan yang datang dari bangsa luar Sunda. Budaya spiritualitas itu berkembang dan terimplementasikan dalam perilaku religius masyarakatnya. Perilaku religius masyarakat Sunda bihari itu lalu diinternalisasikan mulai dari keluarga hingga masyarakat dalam ruang lingkup luas, sehinnga menjadi suatu adat dan tradisi serta hukum adat atau pikukuh yang menjadi pedoman hidup masyarakat pada masa itu.
Religiusitas masyarakat leluhur Sunda di masa prasejarah dan awal sejarah terjaga dan dapat dilihat dari kelestarian alam yang terus asri dan harmoni antar makhluk (manusia, hewan, tumbuhan dan makhluk astral atau ruh-ruh suci dan non suci atau ruh baik dan jahat), dengan manusia atau MANUSA WASTU SIWONG atau Sejatinya manusia yang telah "selesai" memahami hakikat dan peran kehidupan dan keberadaan dirinya di buwana panca tengah ini sebagai "pamémérés atau penata" kehidupan sekaligus pengelola alam dan lingkungannya.
Tak heran, hingga "orang asing" memandang Tatar Sunda (termasuk di dalamnya terdapat sebutan alam Parahyang) mengibaratkan bahwa Tuhan menciptakan alam di wilayah ini ketika Tuhan sedang tersenyum. Keindahan, keasrian, kesejukan, kesuburan, kebersihan, kedamaian serta ketentraman alam dan masyarakat penghuninya terhubung dan saling terikat satu sama lain secara sistem ekokultural lokal secara ajeg. Hal ini bertahan hingga mulai masuknya pengaruh budaya para pendatang bangsa luar, yang kemudian berinteraksi secara akulturatif dan asimilatif melalui berbagai dinamika sosial dan politik kemasyarakat pada masa itu. Gunung-Gunung sebagai benteng pertahanan budaya dan kabuyutan Urang Sunda mulai "diranjah dan digadabah" atau dirusak oleh pengaruh pola pikir dan pemahaman duniawi atau spiritualitas yang tidak bersabat dan selaras dengan aura alam Tatar Sunda, yang bersebrangan dengan spiritualitas bangsa Sunda bihari waktu itu. Seiring waktu, keasrian pudar, kesuburan menggersang, kebersihan ternodai, keajegan adat dan tradisi terkoyak, para ruh jahat pun berlindung merasuki jiwa-jiwa orang yang kalap dengan syahwat duniawi dan kekuasaan. Ruh suci pun berkumpul di "semak-semak kabuyutan" tersembunyi sambil menjaga benteng pertahanan wilayah kesucian, dan ada yang menyelinap dalam jiwa-jiwa raga hamba sahaya yang "lantip pikirna dan rancagé haténa".
Saat senandung kidung buhun digetarkan dalam alunan dawai kecapi, tarawangsa, seruling dan tembang Sunda beruntai rasa batin yang rindu dan jujur akan jatidirinya, saat itulah alam pun tergerak menata diri, menyeimbangkan kembali dengan hukum alam dan adikudratinya. Senandung suara rasa yang kadang tidak bisa dicerna dengan akal dan perasaan yang jumud dan terpenjara oleh pembenaran yang membalikkan kasunyatan, adalah tak ubahnya "panggilan batin" yang mengkoneksikan genetika leluhur yang tersembunyi dan terdampar dalam relung palung batin yang sudah terkubur oleh egoisme kemunafikan dan penghianatan terhadap lemah cai dan spiritualitas batin agung leluhurnya. Karena memang demikianlah menurut "dawuh leluhur" dalam berbagai manuskrip kuna Sunda juga melalui tradisi lisan yang terjaga dalam memori kolektif para "penganut pikukuh leluhur Sunda", bahwa mereka para ruh suci, dangiang pewartaan tugas atau pancen amanat leluhur tidak sembarang terungkap dan terpendar, kecuali melalui kesadaran yang "ngadeg ku anjeun, dina tiap obahna jaman". Bersamaan dengan itu alam kembali menata diri dengan “usiknya” yang kadang tidak disadari hal itu sebagai “panggeuing” bagi para penghuni bumi yang telah “mendurhakainya”. Sehingga, bisa ditarik kesimpulan bahwa, alat-alat musik tradisional Sunda itu, salah satunya seruling Sunda atau suling Sunda, adalah salah satu "media sandi pusaka" yang tidak kalah penting dan "ahéng" dari sekedar simbol-simbol kesundaan yang suka dijadikan kebanggaan semu dan hanya menjadi arogansi identitas tanpa memahami dan mendalami dalam keterkaitan dengan "media pusaka lainnya" yang selama ini sekedar dianggap "alat hiburan semata".
14 Agustus 2021
|
|