Rammang-Rammang dan Leang-Leang, Makasar, Sulawesi Selatan
Pada tanggal 10 September 2023, setelah menghadiri InaSHG dan ISGC Annual Meeting kami menyempatkan untuk mengunjungi salah satu Karst terbesar di dunia yaitu Kart Maros-Pangkep, tepatnya kami mengunjungi Ramang-Ramang. Kami berangkat beremapt Bersama kolega yang menghadiri Annual meeting tersebut yaiut dr. Kristo, dr. Meta dan dr. Octo dari klinik Inharmony di Jakarta.
Rammang-Rammang adalah sebuah kawasan bentang alam berupa gugusan pegunungan karst yang terletak di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kawasan karst ini terintegrasi dengan Kawasan Karst Maros-Pangkep. Kawasan karst ini kini diberikan perlindungan khusus, karena kondisi kelestarian alamnya. Kawasan karst ini berada 42,30 km di sebelah utara Kota Makassar. Kami memasuki kawasan Ramang-Ramang dengan menggunakan perahu menyusuri gugusan bakau dan pegunungan karst yang begitu menakjubkan. Setelah sampai kami memasuki Desa Berua yang merupakan satu-satunya desa di Ramang-ramng yang katanya hanya memiliki 18 ribu penduduk. Menelusuri Ramang-ramang seperti Kembali ke zaman purbakala karena Ramang-Ramang juga terdapat beberapa gua purbakala, seperti gua berlian, gua keleawar, gua telapak tangan, gua Allo dan sebagainya. Sebagian besar guanya belum banyak dieksplorasi. |
Perjalan kami lanjutkan dengan Kembali pe dermaga 2 dengan menggunakan perahu. Dari dermaga 2 kami melanjutkan perjalanan ke Leang-Leang dimana ditemukan gua yang trdapat lukisan tangan yuang diperkiran manusia purbakala serta untuk menemui para peneliti disana.
Setelah mengendari kendaraan sekitar 30 menit dari Ramang-Ramang dan melewati beberapa pabrik marmer kami sampai di Leang-Lenang. Tempatnya sungguh tedu dan batu karst menyebar dimana-mana menyambut kami. Pertama kami datang menyapa para peneliti yang memang tinggal disana untuk meneliti gua-gua yang ada disekitar Karst Maros-Pangkep ini. Kami bertemu dengan Bapak Budi yang merupakan Kepala Badan Arkeologi Makasar. Seharusnya kami juga menemui Bapak Dedi kepala Geopark Makasar, tetapi beliau sedang ada di Maroko mengikuti Konferensi Geopark dunia.
Setelah mengendari kendaraan sekitar 30 menit dari Ramang-Ramang dan melewati beberapa pabrik marmer kami sampai di Leang-Lenang. Tempatnya sungguh tedu dan batu karst menyebar dimana-mana menyambut kami. Pertama kami datang menyapa para peneliti yang memang tinggal disana untuk meneliti gua-gua yang ada disekitar Karst Maros-Pangkep ini. Kami bertemu dengan Bapak Budi yang merupakan Kepala Badan Arkeologi Makasar. Seharusnya kami juga menemui Bapak Dedi kepala Geopark Makasar, tetapi beliau sedang ada di Maroko mengikuti Konferensi Geopark dunia.
Kami berbincang-bincang sebentar lalu naik ke atas untuk melihat gua yang terdapat rock art berupa gambar telapak tangan yang berjumlah 33 serta gambar 2 ekor babi rusa. Saat naik ke gua kami ditemani oleh Juru Kunci yang berasal dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sesampainya digua Pettea kami sangat terkesima melihat langsung rock art berupa 27 gambar telapak tangan dan 2 ekor babi hutan yang berwarna merah. Hal ini cukup menengakan untuk kami karena setelah mengikuti RockArt Course selama 3 bulan yang diadaka oelh SEAFA Thailand dan mendapatkan informasi bahwa rock art yang ada di Karst Maros-Pangkep ini adalah salah satu yang tertua didunia sejauh ini berusia lebih dari 40,000 tahun.
Taman Arkeologi Leang-Leang (sebelumnya bernama Taman Prasejarah Leang-Leang atau Taman Purbakala Leang-Leang) adalah salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Maros dan Sulawesi Selatan yang menyajikan wisata edukasi tentang kepurbakalaan. Kata "Leang-Leang" dalam bahasa setempat (Bugis-Makassar) memiliki makna "gua". Di taman ini terdapat banyak gua prasejarah yang menyimpan peninggalan arkeologis manusia purba yang unik dan menarik. Para arkeolog berpendapat bahwa beberapa gua yang terdapat di sekitar kawasan tersebut pernah dihuni manusia sekitar 3.000-8.000 tahun SM. Bukti keberadaan ini ditandai dengan lukisan prasejarah berupa gambar babi rusa yang sedang melompat, puluhan gambar telapak tangan yang ada pada dinding-dinding gua. Terdapat 5 buah telapak tangan manusia purbakala yang ditemukan di Gua Pettae, terdapat pula 32 bekas telapak tangan yang ditemukan di Gua Pettae. Selain lukisan prasejarah, juga terdapat benda laut berupa kerang yang menandai bahwa gua tersebut juga pernah terendam dan dikelilingi oleh laut. Keunikan lain adalah keberadaan sungai yang berada tepat di depan Gua Leang-Leang, singkapan batu kapur yang tersebar di areal persawahan penduduk, dan pemandangan Puncak Bulusaraung dari atas gua. (Wikipedia)
Setelah turun kembali kami berbincang dengan para peneliti dan membicarak kemungkinana diadakan kolaboarsi dalam penelitian gua-gua purbakala di Indonesia yang dimulai dengan 3 gua purbakala yaitu Gua Pawon di Jawa Barat, Gua Pettae di Makasar dan Gua Liang Bua di Flores. Kami merasa penelitain gua ini harus lebih menyeluruh sehingga dapat mengetahui kaitan gua-satu dengan gua lainnya dan bagaimana wajah dan budaya manusia purbakala pada saat itu.
KESIMPULAN
Kami sebagai Yayasan yang berbasis penelitian kebudayaan sangat senang sekali dapat mengunjungi tempat-temopat bersejarah purbakala seperti Ramang-ramang dan Leang-Leang yang menjadi bagian dari Karst terbesar kedua di dunia yaitu Karst Maros-Pangkep, di Sulawesi Selatan.
Raamang-Ramang merupakan tempat yang begitu Indah dengan gugusan karst yang naik kepermukaan yang terbentuk jutaan lalu. Ramang-ramang luasnya 43.700 hektar dan memiliki gua sekitar 280. Sebanyak 16 gua yang telah diketahui sebagai situs purbakala, yang lainnya masih dalam penelitian.
Kunjungan kali ini sangat penting bagi kami karena selain menyaksikan keindahan karst serta gua-gua kami bertemu dengan tim penelitinya secara langsung untuk berdiskusi tentang kolaborasi apa yang dapat kita lakukan untuk mengembangkan penelitian di daerah Karst ini, karena masih ada beberapa pertanyaan-pertanyaan penelitian yang belum dapat dijawab, seperti darimanakah manusia purba yang tinggal di gua-gua ini dan bagaimana cara hidup mereka pada saat itu, serta benarkah mereka adalah nenek moyang manusia di Sulawesi. Terlebih lagi pertanyaan bagaimana kaitan gua yang ada di Sulawesi dengan gua-gua lain yang ada di Jawa, di Flores dan di tempat lainnya di Indonesia. Hal-hal inilah yang masih harus kita bersama-sama jawab dalam menerangi pengetahuan kita tentang manusia purbakala Indonesia.
Dengan kunjungan ke situs purbakala langsung ini, melahirkan banyak inspirasi ide penelitian khususnya untuk membuat pusat studi gua purbakala yang kami canangkan di gua Pawon menjadi semakin terbuka. Satu gua lagi dalam perjalanan kami yang harus kami kunjungi adalah Gua Liang Bua di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Terima kasih kepada semua pihak termasuk para dokter dari Inharmony atas kunjungan bersamanya. Serta kepada semua peneliti yang berkenan berdiskusi dengan kami ditengah kesibukannya melakukan penelitian. Semoga kita dapat berkolaboarsi dalam menguak Sejarah manusia purbakala Indonesia. Terima kasih juga kepad Jupel dan pemandu yang telah menemani kami selama kunjungan kami ke dua tempat ini. Semoga kami dapat menjelajahi kembali indahnya Karst Maros-Pangkep.
September, 2023
Sesampainya digua Pettea kami sangat terkesima melihat langsung rock art berupa 27 gambar telapak tangan dan 2 ekor babi hutan yang berwarna merah. Hal ini cukup menengakan untuk kami karena setelah mengikuti RockArt Course selama 3 bulan yang diadaka oelh SEAFA Thailand dan mendapatkan informasi bahwa rock art yang ada di Karst Maros-Pangkep ini adalah salah satu yang tertua didunia sejauh ini berusia lebih dari 40,000 tahun.
Taman Arkeologi Leang-Leang (sebelumnya bernama Taman Prasejarah Leang-Leang atau Taman Purbakala Leang-Leang) adalah salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Maros dan Sulawesi Selatan yang menyajikan wisata edukasi tentang kepurbakalaan. Kata "Leang-Leang" dalam bahasa setempat (Bugis-Makassar) memiliki makna "gua". Di taman ini terdapat banyak gua prasejarah yang menyimpan peninggalan arkeologis manusia purba yang unik dan menarik. Para arkeolog berpendapat bahwa beberapa gua yang terdapat di sekitar kawasan tersebut pernah dihuni manusia sekitar 3.000-8.000 tahun SM. Bukti keberadaan ini ditandai dengan lukisan prasejarah berupa gambar babi rusa yang sedang melompat, puluhan gambar telapak tangan yang ada pada dinding-dinding gua. Terdapat 5 buah telapak tangan manusia purbakala yang ditemukan di Gua Pettae, terdapat pula 32 bekas telapak tangan yang ditemukan di Gua Pettae. Selain lukisan prasejarah, juga terdapat benda laut berupa kerang yang menandai bahwa gua tersebut juga pernah terendam dan dikelilingi oleh laut. Keunikan lain adalah keberadaan sungai yang berada tepat di depan Gua Leang-Leang, singkapan batu kapur yang tersebar di areal persawahan penduduk, dan pemandangan Puncak Bulusaraung dari atas gua. (Wikipedia)
Setelah turun kembali kami berbincang dengan para peneliti dan membicarak kemungkinana diadakan kolaboarsi dalam penelitian gua-gua purbakala di Indonesia yang dimulai dengan 3 gua purbakala yaitu Gua Pawon di Jawa Barat, Gua Pettae di Makasar dan Gua Liang Bua di Flores. Kami merasa penelitain gua ini harus lebih menyeluruh sehingga dapat mengetahui kaitan gua-satu dengan gua lainnya dan bagaimana wajah dan budaya manusia purbakala pada saat itu.
KESIMPULAN
Kami sebagai Yayasan yang berbasis penelitian kebudayaan sangat senang sekali dapat mengunjungi tempat-temopat bersejarah purbakala seperti Ramang-ramang dan Leang-Leang yang menjadi bagian dari Karst terbesar kedua di dunia yaitu Karst Maros-Pangkep, di Sulawesi Selatan.
Raamang-Ramang merupakan tempat yang begitu Indah dengan gugusan karst yang naik kepermukaan yang terbentuk jutaan lalu. Ramang-ramang luasnya 43.700 hektar dan memiliki gua sekitar 280. Sebanyak 16 gua yang telah diketahui sebagai situs purbakala, yang lainnya masih dalam penelitian.
Kunjungan kali ini sangat penting bagi kami karena selain menyaksikan keindahan karst serta gua-gua kami bertemu dengan tim penelitinya secara langsung untuk berdiskusi tentang kolaborasi apa yang dapat kita lakukan untuk mengembangkan penelitian di daerah Karst ini, karena masih ada beberapa pertanyaan-pertanyaan penelitian yang belum dapat dijawab, seperti darimanakah manusia purba yang tinggal di gua-gua ini dan bagaimana cara hidup mereka pada saat itu, serta benarkah mereka adalah nenek moyang manusia di Sulawesi. Terlebih lagi pertanyaan bagaimana kaitan gua yang ada di Sulawesi dengan gua-gua lain yang ada di Jawa, di Flores dan di tempat lainnya di Indonesia. Hal-hal inilah yang masih harus kita bersama-sama jawab dalam menerangi pengetahuan kita tentang manusia purbakala Indonesia.
Dengan kunjungan ke situs purbakala langsung ini, melahirkan banyak inspirasi ide penelitian khususnya untuk membuat pusat studi gua purbakala yang kami canangkan di gua Pawon menjadi semakin terbuka. Satu gua lagi dalam perjalanan kami yang harus kami kunjungi adalah Gua Liang Bua di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Terima kasih kepada semua pihak termasuk para dokter dari Inharmony atas kunjungan bersamanya. Serta kepada semua peneliti yang berkenan berdiskusi dengan kami ditengah kesibukannya melakukan penelitian. Semoga kita dapat berkolaboarsi dalam menguak Sejarah manusia purbakala Indonesia. Terima kasih juga kepad Jupel dan pemandu yang telah menemani kami selama kunjungan kami ke dua tempat ini. Semoga kami dapat menjelajahi kembali indahnya Karst Maros-Pangkep.
September, 2023